KORANJURI.COM – Deputi Direktur Otoritas Jasa Keuangan (OJK) I Ketut Widiana mengatakan, selama 10 tahun yakni tahun 2007-2017, total kerugian masyarakat akibat investasi bodong mencapai Rp 105,85 triliun.
Hal itu dikatakan I Ketut Widiana dalam seminar bertema ‘Edukasi Waspada Investasi’ di STIKOM Bali, Kamis (29/11/2018).
Menurutnya, jumlah masyarakat yang menjadi korban investasi bodong tersebut mencapai jutaan orang. Dalam kasus itu, empat perusahaan investasi bodong berhasil diungkap Tim Satgas Waspada Ivestasi OJK.
“Seorang tukang bubur di Depok, Jawa Barat, Salaman Nuryanto yang menjadi bos Pandawa Group berhasil menipu 549.000 orang dengan total kerugian sekitar Rp 3,8 triliun,” jelas Ketut Widiana, Kamis, 29 November 2018.
Widiana menambahkan, Andika Surachman dan Aniesa Hasibuan, pasangan suami-istri yang menjadi bos First Travel menipu 58.600 orang dengan modus paket umroh murah. Hal itu mengakibatkan kerugian bagi masyarakat sebesar Rp 800 miliar.
Selain itu, kata Widiana, PT Cakrabuana Sukses Indonesia, yang merupakan perusahaan konsorsium, menipu 7.000 orang dengan kerugian Rp 1,6 triliun. Termasuk, perusahaan Dream Freedom menipu 700.000 orang dengan total kerugian Rp 3,5 triliun.
Dalam diskusi itu, Ketut Widiana juga membuka fakta tentang Talk Fusion yang masuk kategori perusahaan investasi bodong.
“Itu sudah kami rilis tahun lalu,” jelas Widiana.
Ketut Widiana meminta mahasiswa STIKOM Bali untuk ikut memberikan informasi yang benar kepada keluarganya agar tidak tergiur tawaran investasi dengan iming-iming bunga tinggi dan menjanjikan bonus tertentu.
Untuk menilai sebuah investasi itu legal atau ilegal, kuncinya adalah 2L, Legal dan Logis. Legal tidak hanya dari sisi pendirian badan usahanya tetapi juga legal dalam operasionalnya. Contohnya, sebuah perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang bergerak di bidang jasa keuangan.
“Legalitas PT-nya harus ada dan harus memiliki ijin operasional dari lembaga keuangan,” terangnya demikian.
“Kalau dijanjikan bunga tinggi, misalnya 5% per bulan, itu bisa dipastikan cepat atau lambat perusahaan tersebut akan bangkrut. Jadi ini yang perlu diwaspadai,” tambah Widiana.
Menyinggung soal uang digital atau Cryptocurrency, menurut Ketut Widiana, sampai sekarang belum ada regulator yang mengaturnya, sehinga tidak ada lembaga yang mengawasi. Dengan demikian, dipastikan itu juga bodong. Mengingat, mata uang digital bertentangan dengan UU No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang.
“Salah satu produk mata uang digital ini adalah Bitcoin. Keamanannya tidak pasti karena kantor pusatnya di negara lain, fluktuasi harga juga tinggi sekali. Ini dilarang karena bertentangan dengan UU No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang. BI melarang Bitcoin atau virtual currency karena bukan mata uang.
“OJK juga melarang karena Bitcoin bukan produk jasa keuangan,” jelas Widiana.
I Ketut Widiana mendorong mahasiswa STIKOM Bali untuk terjun dalam bisnis Financial Technology (Fintech).
“Fintech kerjanya memfasilitasi investor dengan pencari kredit. Feenya diterima oleh Fintech. Jadi ini peluang bagus buat para mahasiswa STIKOM Bali yang notabene sudah menguasai IT. Jadi, dari sekarang berpikir bisnis, ajak dua atau tiga teman, buat aplikasinya, jangan tamat dulu baru berpikir. Saat ini sudah ada sekitar 80-an perusahaan Fintech yang terdaftar di OJK, silahkan buat perusahaan seperti ini,” ajaknya.
Seminar yang dibuka oleh Ketua STIKOM Bali Dr. Dadang Hermawan ini diikuti sekitar 80 mahasiswa STIKOM Bali dan dihadiri juga Pembantu Ketua II Putri Srinadi, SE., MM.Kom., Kepala Pusat Kerja Sama, Humas dan Pemasaran I Made Sarjana, SE., MM., dan Kepala Inkubator Bisnis Panji Agustino, S.Kom., M., MSI serta Humas Rahman Sabon Nama. (Way/*)