Tradisi Buang Sial Tebar Benih Ikan di Sungai Bengawan Solo

oleh
Sungai Bengawan Solo - foto: Koranjuri.com

KORANJURI.COM – Menyambut tahun baru 2021, sebanyak 2021 bibit ikan ditebar ke sungai keramat Bengawan Solo pada Kamis sore kemarin (31/12/2020). Tak lupa beberapa dupa dinyalakan untuk mengiringi kegiatan ini.

Konon, ritual menebar bibit ikan ini sudah dilakukan oleh masyarakat Jawa sejak jaman dulu. Selain membuang kesialan atau sengkala di tahun lama, ritual ini dipercaya bisa merayu alam untuk kembali ramah kepada manusia. Benarkah demikian?

Kegiatan yang diprakarsai oleh ketua Yayasan Forum Budaya Mataram (FBM) ini, Yaitu BRM Kusumo Putro (47), dilakukan pada sore hari sekitar jam 17.00. Kabarnya, waktu tersebut dipilih, karena dianggap paling tepat untuk berinteraksi dengan aura gaib alam.

Baik secara mikrokosmos (manusia) ataupun makrokosmos (alam), masa transisi antara pergantian siang dan malam, dipercaya membawa aliran yang kuat hubungan antara manusia dan alam.

“Itulah sebabnya kami sengaja mengambil momen kegiatan ini di sore hari,” tutur Kusumo Putro yang juga merupakan ketua dari Dewan Pemerhati dan Penyelamat Seni Budaya Indonesia (DPPSBI ).

Kusumo memilih sungai Bengawan Solo, karena selain lokasinya paling dekat juga dianggap keramat. Baik dari sisi historis, ekonomis, maupun aura mistis, sungai Bengawan Solo dianggap paling baik untuk melakukan kegiatan tersebut. Selain sungai, biasanya masyarakat juga melakukan ritual tebar bibit habitat atau biota air di laut, danau, atau aliran air sungai. Bahkan ada juga yang melepas burung ke udara bebas.

Bengawan Solo sesuai namanya, dalam bahasa Jawa, Bengawan berarti sungai yang besar. Bersumber dari hulu pegunungan Seribu, Wonogiri, dan Ponorogo, aliran air Bengawan Solo bermuara ke wilayah Gresik, Jatim. Secara historis, sungai Bengawan Solo sejak jaman kerajaan Mataram, sudah menjadi bagian penting bagi peradaban kala itu.

“Terutama secara kultural dan ekonomi, Bengawan Solo menjadi titik penting bagi sarana transportasi sekaligus tranformasi budaya. Baik dari wilayah Solo (Jawa) sendiri, maupun dari belahan dunia lain,” papar Kusumo lagi sambil mencari titik lokasi yang dianggap paling pas untuk menebar bibit ikan.

Ditambahkan lagi, dulu di jaman Mataram Kuno, jaman Majapahit, maupun Mataram Islam Kraton Surakarta, sungai Bengawan Solo menjadi jalur lalu-lintas utama. Yaitu sebagai jalur perdagangan, baik antar wilayah di Nusantara maupun belahan dunia lain (antara negara/kerajaan).

Bengawan Solo yang merupakan sungai terpanjang di pulau Jawa, dianggap paling wingit oleh banyak kalangan. Hal itu mungkin karena banyak sejarah di masa lampau yang terkait dengan aliran Bengawan Solo. Bahkan beberapa sisa peninggalan dermaga (pelabuhan sungai) di sungai Bengawan Solo, masih bisa dilihat atau setidaknya ditandai sampai sekarang ini.

Meskipun hanya berwujud puing-puing, peninggalan itu masih ada. Baik di wilayah Solo sendiri maupun di wilayah lain yang dilewati sungai Bengawan Solo.

Dari beberapa literatur sejarah, sering diceritakan saat Raja-Raja Mataram berkeliling dengan perahu pesiar di sungai Bengawan Solo. Para petinggi kerajaan tersebut menyusuri sungai untuk melihat kondisi dan wilayahnya masing-masing. Beberapa artefak sejarah hingga kini masih bisa dilihat keberadaannya terkait hal tersebut.

“Misalnya Kepala Kapal yang bernama Rojomolo, yang hingga kini masih disimpan di museum Radya Pustaka. Dan beberapa pecahan atau bagian dari perahu Joko Tingkir, yang disimpan di beberapa tempat keramat di wilayah Solo dan Sragen,” terang Kusumo sambil mengingat-ingat beberapa buku literatur sejarah.

Sekitar pukul 17.15, rombongan FBM sudah menemukan titik lokasi yang ideal untuk melepas ribuan bibit ikan tersebut. Hal ini sesuai petunjuk beberapa spiritual yang ikut menyertai rombongan. Lokasi tersebut tak lain, tepat di belakang kantor atau pos Basarnas, atau sekitar area di bawah jembatan Jurug.

Sebanyak empat kantong plastik besar, berisi 2021 bibit ikan dari jenis lele dan nila disiapkan. Namun sebelumnya, anggota rombongan melakukan ritual kecil untuk kelancaran acara. Termasuk Kusumo sendiri juga melakukan ritual tersebut. Puluhan batang dupa dibakar.

Hal ini sebagai simbol, bentuk penghormatan kepada penjaga gaib. Atau dianggap sebagai penjaga alam asli di sekitar lokasi Bengawan Solo.
Puluhan batang dupa tersebut dinyalakan, lalu ditancapkan pada beberapa titik tepian sungai.

Membakar dupa sendiri, juga diiringi dengan memanjatkan doa kepada Tuhan YME. Tujuannya, agar ikan-ikan yang dilepaskan, bisa hidup dan berkembang biak. Dan bisa memberikan manfaat bagi manusia, demikian juga agar alam bisa turut menjaganya.

“Membakar dupa juga merupakan simbol, untuk meminta ijin melepas ikan. Serta menyatukan energi yang ada di sekitar lokasi sungai. Sehingga semua energi bisa terserap menjadi energi positif, agar kegiatan berjalan dengan baik dan lancar,” ujar Kusumo lagi.

Selanjutnya satu per satu anggota FBM, meminum air sungai Bengawan meskipun hanya beberapa teguk. Air sungai terlihat coklat bercampur lumpur, karena baru saja diguyur hujan. Namun hal tersebut tak menyurutkan niat mulia, dari para anggota FBM. Mereka terlihat sangat khusyuk saat meminum air sungai, termasuk Kusumo sendiri.

“Bagi kami, sebagai orang Jawa yang menghormati tradisi leluhur, ritual meminum air sungai sebelum memulai acara, adalah wajib hukumnya. Karena sebagai wujud uluk salam, atau meminta ijin kepada para penunggu gaib alam sekitar sini, sekaligus untuk menyatukan diri dengan alam lingkungan,” kata Kusumo sebelum ritual dimulai.

Acara ritual melepas ikan tersebut, juga dilakukan sebagai bentuk keprihatinan terhadap kondisi sungai Bengawan Solo, serta sungai-sungai lainnya di suluruh Indonesia. Dimana kondisi sungai-sungai sekarang, banyak yang tercemar habitatnya.

Kondisi sungai sekarang, banyak yang sudah tidak seperti dulu lagi.
Dulu wilayah sungai, menjadi bagian penting bagi manusia untuk mencari nafkah atau sumber penghidupan.

Penduduk pesisir sungai selalu peduli, dan merawat lingkungan sungai. Habitat sungai, baik ikan dan biota sungai lainnya, dirawat dengan sungguh-sungguh oleh masyarakat di jaman dulu.

Berbanding terbalik dengan masa sekarang. Dimana masyarakat sudah tak peduli lagi dengan habitat dan lingkungan sungai. Selain pencemaran baik skala kecil atau besar, masyarakat juga sangat serakah dalam mengekploitasi alam sungai. Misalnya dengan menabur racun ikan, menggunakan alat setrum, dll.

“Sehingga acara menyebar benih ikan ini, juga dimaksudkan untuk menggugah kepedulian masyarakat akan lingkungan. Terutama habitat sungai agar tetap terjaga dengan baik dan lestari sepanjang masa,” ulas Kusumo serius.

Ada hal yang lebih penting lagi, tradisi menebar benih ikan di alam bebas, merupakan salah satu wujud kearifan lokal yang sangat luhur. Dimana merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan alam, yang saling menjaga keseimbangan.

Alam telah memberikan segala kebaikannya bagi manusia. Begitu pula sebaliknya. Manusia juga harus mau merawat dan menjaga alam. Baik alam di darat, laut, dan udara.

Kearifan lokal tersebut, saat ini jarang ada di masyarakat. Yang terjadi justru manusia hanya bisa menuntut kepada alam. Sama sekali tidak peduli untuk merawat alam lingkungannya. Padahal di jaman dulu, manusia dan alam saling menyatu. Manusia tak pernah menuntut alam. Yang ada hanyalah saling menjaga keseimbangan.

Kegiatan menebar benih ikan di masa sekarang, diharapkan bisa menjadi contoh, agar manusia bisa selalu menjaga tradisi atau kearifan lokal yang ada. Terutama terkait dengan lingkungan atau habitat alam sungai. Kearifan lokal masyarakat Jawa di masa lalu, selalu menebar benih biota ke laut, danau, sungai dan sumber air lainnya.

Sehingga jika sekarang, menghidupkan kembali kearifan lokal tersebut, tentu bisa mengembalikan lagi keseimbangan antara alam dengan manusia. Dimana alam selalu memberikan kebaikan dan manfaat bagi manusia.

Bagi kultur masyarakat Jawa sendiri, ritual menebar benih untuk keseimbangan alam itu, sebenarnya sudah menjadi ruh atau tradisi yang adiluhung. Kearifan lokal itu biasanya sangat erat dengan kepercayaan pribadi Jawa, khususnya terkait peristiwa istimewa, atau fase tertentu dalam hidupnya. Misalnya kepercayaan klenik, weton (pasaran hari kelahiran), ambalwarso (ulang tahun), atau bulan-bulan yang dianggap berkah.

Dalam waktu-waktu yang dianggap istimewa tersebut, masyarakat Jawa terbiasa melakukan ritual menebar benih ikan atau biota lain ke sungai atau laut. Lalu kenapa harus menebar ikan ke sungai?

“Hal tersebut mempunyai tujuan, yaitu memberikan kebebasan kepada makluk hidup ciptaan Tuhan. Agar mereka bisa bebas mencari makan. Dan bebas menentukan hidupnya sendiri, atau bergerak kemana saja sesukanya. Dengan memberikan kebebasan kepada mereka, dipercaya makluk hidup tersebut juga akan mendoakan kita semua, segala kebaikan atau berkah yang sama dari Yang Maha Kuasa,” terangnya.

Sebenarnya selain ikan bisa juga melepas burung, atau melepas kura-kura, atau biota air, darat, dan udara yang lain. Yang terpenting dengan melepas hewan tersebut ke habitat aslinya, bisa memberikan keseimbangan atau imbal balik yang bermanfaat kepada manusia lewat berkah dari yang Kuasa.

“Selain wujud kepedulian kepada alam dan habitat sungai, kegiatan tebar benih ikan juga bertujuan secara spiritual. Yaitu untuk menyambut tahun baru 2021, dengan harapan agar kehidupan kita dan bangsa Indonesia lebih baik. Terwujud kerukunan, kedamaian, kententraman, rejeki berlimpah, serta kesehatan yang lebih baik lagi,” urainya panjang lebar.

Intinya, dengan kegiatan tersebut bisa menebar harapan, agar kita semua meninggalkan tahun 2020 menuju tahun 2021 yang lebih baik lagi. Kegiatan menebar benih ikan tersebut mungkin sangat kecil. Namun semoga bisa mengetuk hati seluruh masyarakat agar kembali mengingat, dan peduli dengan lingkungan habitat sungai. Sehingga sungai bisa kembali menjadi sumber ekonomi, rekreasi, sekaligus religi bagi masyarakat.

Saat biota atau penghuni habitat sungai kembali berlimpah, sudah tentu sungai menjadi bagian hidup dari masyarakat. Sama seperti alam laut atau danau, sungai selalu memberikan manfaat kebaikan bagi manusia. Semoga di tahun baru 2021 ini, segala kebodohan, keburukan, kesialan, dan semua kekilafan manusia bisa hilang, atau hanyut dibawa derasnya arus sungai.

“Dan Tahun Baru 2021 akan menjadi tahun yang indah, penuh kedamaian bagi kita semua, dan seluruh masyarakat Indonesia. Juga kita semua selalu dilimpahkan segala kebahagiaan dan keberuntungan, serta dilimpahkan segala apa yang kita inginkan, atas berkah dari Allah sang pencipta alam. Dalam skala yang lebih besar, semoga di tahun 2021 ini, bangsa Indonesia bisa menyambut sebuah era baru. Yaitu era dimana bangsa ini menuju bangsa yang besar. Serta disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia seperti era kejayaan Nusantara di jaman dulu silam,” harap Kusumo. (Med)

KORANJURI.com di Google News