KORANJURI.COM – RUU KUHP yang saat ini tengah digodok di DPRD memuat sejumlah pasal yang dinilai melemahkan wartawan dan merusak kebebasan pers.
Ketua SMSI Bali yang juga praktisi media Emanuel Dewata Oja alias Edo berpendapat, jika RUU KUHP disahkan jadi UU, wartawan akan mudah dikriminalisasi dan diintimidasi.
“Seperti yang terjadi pada beberapa wartawan dalam peliputan kasus baku tembak anggota Polri. Dampak buruknya, peran Dewan Pers seperti ditiadakan,” kata Edo, Sabtu, 16 Juli 2022.
Ia juga mengatakan, pasal-pasal dalam RUU KUHP itu melemahkan kebebasan pers sebagaimana termaktub dalam UU Pers nomor 4/1999.
Sebelumnya, Dewan Pers, AJI, IJTI, dan PWI, SMSI dan AMSI telah menolak pasal Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang bertolakbelakang dengan kebebasan pers.
Selain pembahasannya yang tidak transparan, kata Edo, rancangannya tidak melibatkan stakeholder. Ia menilai, DPR RI juga terlalu terburu-buru menetapkan RUU kontroversi tersebut. Sesuai agenda, penetapan RUU KUHP akan diketok palu jadi UU pada bulan Juli ini.
“Sekarang terjadi pada RUU KUHP, sebelumnya pada UU Cipta Kerja. Kita dari Bali bisa bikin resolusi menolak 12 pasal krusial RUU KUHP atau cara lain. Intinya kita menolak,” ujar Edo.
“Wartawan akan jadi pribadi pengecut jika sejumlah pasal kontroversial itu tidak diubah atau dihapus. Itu pasal yang sarat dengan kepentingan penguasa dan pemerintah yang tidak mau dikritik,” tambahnya.
Sejumlah pasal RUU KUHP yang jadi polemik itu, kata Edo, berpotensi memenjarakan banyak wartawan dan narasumber. Hal itu menurutnya, jadi kemunduran, bahkan pengkhianatan terhadap demokrasi dan reformasi.
Dalam hal ini, ada 9 pasal yang dinilai mengancam kebebasan pers dan mengkriminalisasi karya jurnalistik yakni:
12 pasal RUU KUHP yang ditentang oleh kalangan pers tanah air yakni:
1. Pasal 188 tentang Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara.
2. Pasal 218-220 tentang tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.
Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden, perlu ditiadakan karena merupakan penjelmaan ketentuan-ketentuan tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan Putusan Nomor 013022/PUU-IV/2006.
3. Pasal 240 dan 241 tindak pidana penghinaan pemerintah yang sah serta pasal 246 dan 248 tentang penghasutan untuk melawan penguasa umum.
Pemerintah yang Sah, serta Pasal 246 dan 248 (penghasutan untuk melawan penguasa umum) HARUS DIHAPUS karena sifat karet dari kata ‘penghinaan’ dan ‘hasutan’ sehingga mengancam kemerdekaan pers, kebebasan berpendapat dan berekspresi.
4. Pasal 263 dan 264 tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong.
5. Pasal 280 tindak pidana gangguan dan penyesatan proses peradilan.
6. Pasal 302-304 tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan.
7. Pasal 351-352 tindak pidana penghinaan terhadap jekuasaan umum dan lembaga negara.
8. Pasal 440 tindak pidana penghinaan, pencemaran nama baik.
9. Pasal 437, 443 tindak pidana pencemaran (*)