KORANJURI.COM – Sebuah ritual penting menjadi tradisi dari warga di Dusun Lasem, Ngepungsari, Jatipuro, Karanganyar, Jawa Tengah. Beragam uborampe dan sesaji digelar dalam tradisi ini. Ritual ini wajib diadakan setiap tiga tahun sekali.
Sebagai puncak acara, digelar pentas wayang kulit. Bahkan sampai ada dua dalang yang mengisi pentas wayang tersebut. Konon, jika ritual tidak digelar, masyarakat desa setempat bakal terkena balak atau bencana yang tidak terduga. Bagaimana wujud ritual tersebut?
Sudah sejak jaman nenek moyang, atau secara turun-temurun warga di dusun Lasem mengadakan tradisi ini. Secara resmi tradisi itu dinamakan upacara bersih dusun.
Namun karena sering diikuti oleh seluruh warga desa, sering juga disebut upacara bersih desa. Seiring perkembangan jaman, ada juga yang menamakan dengan tradisi rasulan. Ada pula yang menyebut tradisi tasyakuran sedekah bumi. Namun apapun sebutannya, tradisi itu selalu dianggap sebagai ritual penting bagi warga dusun atau desa setempat.
“Sekali saja, kami absen. Bisa dipastikan dalam waktu tak lama, warga kami pasti akan terkena musibah,” ujar Sutarno (56), kepala dusun Lasem saat ditemui Koranjuri.com.
Menurut Sutarno, dulu para sesepuh desa pernah bercerita. Entah karena lupa atau sengaja tidak melakukan tradisi ritual tersebut. Tiba-tiba saja, para petani yang hampir memasuki masa panen terserang bencana. Entah dari mana asalnya, ribuan wabah hama selalu datang setiap malam.
Wabah tersebut menyerang tanaman padi serta tanaman sayuran lainnya. Sehingga panen yang dinanti-nanti akhirnya gagal. Ekonomi warga pun akhirnya menjadi goyah.
Selang beberapa bulan, banyak warga desa yang sedang merantau ke luar desa juga mengalami musibah dan bencana. Banyak warga yang tiba-tiba jatuh sakit di perantauan. Warga yang berniat mudik pulang ke desa, juga banyak mengalami kecelakaan di jalan. Setelah peristiwa itu, warga baru menyadari bahwa semua bencana tersebut merupakan tuah balak atau sawab gaib, akibat tidak mengadakan tradisi bersih dusun.
“Sejak peristiwa itu, warga kami selalu mengadakan tradisi tersebut dengan sepenuh hati. Dengan swadaya dari masyarakat desa, kami rutin menyelenggarakan acara bersih dusun tersebut dengan lancar,” sambung Sutarno.
Tradisi digelar setiap awal bulan Ruwah dalam sistem penanggalan Jawa. Untuk harinya dipakai sistem hitungan hari baik. Dalam hitungan Jawa memperhitungkan angka-angka yang bermakna sandang (pakaian), pangan (makanan), lara (sakit), pati (mati). Entah kebetulan atau memang sudah rumus, biasanya jatuh pada malam Jumat. Untuk tahun ini kebetulan jatuh pada malam Jumat Kliwon (19/12).
Ritual pertama adalah menyiapkan sesaji dan hidangan. Sekilas ritual ini terlihat sepele. Namun mengingat banyaknya jenis sesaji dan masakan yang dibuat, prosesnya malah seringkali dimulai sebelum hari puncak ritual. Bahkan malam sebelumnya, semua bahan sesaji dan masakan dikumpulkan dulu di rumah kepala dusun. Bahan-bahan tersebut didoakan khusus dengan lantunan doa dari para sesepuh desa.
“Setelah selesai doa malam, bahan-bahan tersebut langsung dimasak sampai pagi keesokan harinya. Kemudian dikumpulkan dalam satu meja untuk didoakan kembali, yang dipimpin oleh seorang Ki dalang ruwat,” lanjutnya.
Doa yang dipimpin dalang tersebut, dilakukan dalam pertunjukan pentas wayang ruwat. Ritual pentas wayang ruwat inilah yang dianggap paling penting dalam tradisi ini. Dilakukan sekitar pukul 16.00 sore. Digelar hanya dalam waktu durasi pendek. Atau dalam seni tradisi wayang disebut sebagai pentas pakeliran padat.
Pentas hanya diselenggarakan tak lebih dari satu jam saja. Meskipun waktunya singkat, namun makna dari ritual ini sangatlah penting.
Beragam jenis uborampe sesaji diletakkan di sekitar gelaran wayang. Sesaji yang paling utama adalah tujuh gunungan nasi kecil dengan hiasan ayam panggang. Lalu disusul kain jarit tiga lembar, kelapa muda utuh, setandan buah pisang raja, jajan pasar komplit, serta wajik dan jadah (makanan berbahan ketan). Setiap tradisi tersebut digelar, uborampe sesaji itu tak pernah berubah, atau berkurang jenisnya.
“Makna dari setiap sesaji memang berbeda-beda. Namun pada dasarnya, semua makna tersebut menyatu untuk tujuan menolak sukerta, sengkala, atau sebagai simbol tolak balak,” papar Paino (65), sesepuh yang menjadi ketua RW setempat.
Menurut Paino, dalam ritual wayang ruwat tersebut, dilantunkan mantra-mantra sebagai simbol nyenyuwun (meminta) keselamatan kepada penguasa-penguasa gaib termasuk kepada Tuhan YME. Juga doa meminta kelancaran agar seluruh proses upacara ritual berjalan lancar dan tertib. Tak heran pentas wayang ritual yang tahun ini, kebetulan dibawakan oleh Ki Dalang Jaiman Patmo Mulyono, juga melantunkan mantra-mantra menolak hujan.
Malam harinya sekitar pukul 20.00, acara pentas wayang kulit digelar kembali sebagai puncak acara. Berbeda dengan pentas wayang kulit sebelumnya, acara ini lebih ditujukan untuk menghibur warga dan semua tamu undangan yang hadir. Pentas yang mengambil lakon Pendawa Mbangun Gedhong Kencana tersebut dimainkan oleh Ki Dalang Wegig Sutoya.
Dalam sambutan acaranya, kepala desa Ngepungsari, Suparno (55) mengatakan, tradisi melestarikan budaya bersih dusun itu merupakan suatu keharusan. Apalagi makna yang terkandung dalam upacara tradisi adalah positif. Yaitu ingin membersihkan desa dari aura-aura negatif atau jahat (sukerta). Jadi warga masih bisa menjalankan warisan budaya leluhur, sembari tetap mempelajari agama yang dianutnya masing-masing.
Dalam tradisi itu bisa terjalin kerukunan antar semua warga desa. Baik warga yang berbeda aliran agama, politik, golongan, ataupun keturunan. Dengan menghaturkan rasa syukur kepada Tuhan YME melalui simbol-simbol upacara tradisi ini, diharapkan kondisi desa dan warganya akan benar-benar bersih baik secara mental dan fisik. Dan bisa menjadi manusia sebagai makluk Tuhan seutuhnya.
“Kami atas nama semua panitia, juga mengucapkan terima-kasih yang sebanyak-banyaknnya kepada semua warga dan donatur yang telah berpartisipasi untuk kelancaran acara ini,” ujar kepala desa Suparno dalam akhir sambutannya. (Med)