KORANJURI.COM – Dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Bali, sejak dulu sosok perempuan telah menunjukkan peranan yang penting dalam kehidupan sosial dan politik masa itu.
Sejarawan dari Kampus ISI Denpasar Dr. Drs. I Gusti Ngurah Seramasara. M.Si., menyebut, perempuan mempunyai kemampuan psikologis untuk memberikan kekuatan kepada laki-laki.
“Kekuatan perempuan ini memiliki kekuasaan simbolik kepada suami atau laki-laki. Itu terlihat dari peran istri raja-raja di jaman kerajaan yang ada di Bali,” kata Gusti Ngurah Seramasara, Rabu, 30 Juni 2021.
Bukti nyata itu terlihat dari jejak peristiwa perang Jagaraga di Buleleng, Bali. Jero Jempiring merupakan istri raja Buleleng I Gusti Patih Jelantik. Invasi militer Belanda untuk menaklukkan kerajaan Buleleng mendapatkan perlawanan sengit.
Gusti Ngurah Seramasara menyebut, keterlibatan Jero Jempiring bukan hanya memberikan semangat juang kepada raja, tapi juga ikut bertempur secara fisik dengan menghunus keris menghadapi agresi militer Belanda.
“Disitu Gusti Patih Jelantik terbunuh dan Jero jempiring bela pati melawan Belanda meski akhirnya juga tewas di medan pertempuran,” kata Seramasara.
Dijelaskan lagi, hal yang sama juga dilakukan oleh Dewa Agung Istri Kanya. Perempuan berjuluk Ratu Perawan Klungkung ini mendesain peperangan menentang Belanda.
Strategi perang yang disusun akhirnya berhasil membunuh pimpinan ekspedisi Belanda, Mayor Jenderal A.V. Michiels.
“Bagi saya, Dewa Agung Istri Kanya adalah orang cerdas, dia tahu tentara Belanda akan merasa kalah kalau pimpinannya mati. Dia mengintai jendralnya, dan Belanda berhasil dilumpuhkan oleh Laskar Klungkung,” jelasnya.
Dialog ‘Peranan Perempuan dalam Perjuangan Rakyat Bali’ itu menjadi tema utama pada rangkaian peringatan HUT Ke-18 Monumen Perjuangan Rakyat Bali (MPRB) di Monumen Bajrasandi, Renon, Denpasar, Rabu, 30 Juni 2021.
Narasumber lain Dr. Ir. Luh Riniti Rahayu, M.Si., menyebutkan, sejarah feminisme di Bali bahkan sudah dimulai sejak tahun 1936 atau ketika Kongres Wanita Indonesia (Kowani) I berlangsung di tahun yang sama.
“Tahun itu, di Bali sudah terbentuk organisasi perempuan yang bernama Putri Bali Sadar (PBS), wadah itu berjuang soal keadilan gender dan feminisme,” jelas Luh Riniti Rahayu.
Meski, ia tidak menampik, perempuan Bali masih dipandang sebagai obyek penderita di lingkungan sosial masyarakat.
“Image itu masih ada sampai sekarang, perempuan Bali pekerja proyek, bahkan masih banyak kita temui, mereka bekerja kasar sebagai buruh bangunan,” jelasnya.
Sementara, kata Luh Rinitu, gerakan feminisme menciptakan tiga model perjuangan yakni, dalam masa pergerakan, ia menyebut model perempuan melawan penjajahan. Kemudian, model perempuan dalam memajukan dunia pendidikan, serta perjuangan keorganisasian dan politik.
Hadir pula dalam acara sarasehan itu Kepala Seksi Informasi Masyarakat UPTD Monumen Perjuangan Rakyat Bali Dewi Ardhiyanti, SE., M.SI. (Way)