KORANJURI.COM – Anak-anak belum bisa menyelamatkan diri pada saat terjadi bencana. Sehingga peluang anak-anak menjadi korban pada saat terjadi bencana, lebih besar. Mereka juga rentan mengalami trauma fisik dan psikis.
Hal itu dikatakan menteri Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak
Yohana Yembise dalam Workshop dan Knowledge Sharing ‘Perlindungan Anak Dalam Keadaan Darurat Bencana’ di Jakarta.
“Terbatasnya pelayanan kesehatan, sanitasi, dan air bersih di tempat penampungan (pengungsian) mengakibatkan mereka mudah terserang berbagai macam penyakit,” jelas Yohana, Selasa, 17 Juli 2018.
Yang memprihatinkan, kata Yohana, anak-anak beresiko terhadap tindak kekerasan seperti menjadi sasaran perdagangan anak dan pengiriman keluar daerah bencana.
Yohana mengungkapkan data dari Dinas PPPA Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Hingga saat ini, masih ada 970 balita dan anak-anak masih berada di pengungsian akibat bencana alam erupsi Gunung Sinabung.
“Perlu kita sadari bersama bahwa penanganan perlindungan anak dalam situasi bencana selama ini belum maksimal,” jelasnya.
Sementara, Kepala BNPB Willem Rampangilei mengatakan, perlunya melakukan terobosan baru dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat korban bencana.
“Termasuk perhatian kita kepada anak-anak korban bencana,” jelas Willem.
Data BNPB menyebut, jumlah pengungsi akibat bencana yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 4 tahun terakhir, dari Januari 2015 hingga Juni 2018, mencapai 176.480 KK atau 730.657 jiwa. Dari jumlah itu, terdapat kelompok bayi sebanyak 5.077 jiwa, balita 13.167 jiwa dan kebutuhan khusus 156 jiwa.
Dalam 15 tahun terakhir, jumlah kejadian bencana meningkat hampir 20 kali lipat. Selama tahun 2017, bencana di Indonesia terjadi sebanyak 2.372 kali yang berdampak pada 377 jiwa meninggal dunia atau hilang dan 3,49 juta jiwa berada di pengungsian. Tren bencana meningkat. (*)