KORANJURI.COM – Pertumbuhan ekonomi Bali sudah menyamai di tahun 2019 dengan pencapaian di atas rata-rata nasional. Di tengah pertumbuhan yang tinggi, Bali dihadapkan pada tantangan inklusifitas.
Karena tidak semua masyarakat dapat menikmati pemulihan ekonomi yang terjadi. Masih ada kesenjangan tajam. Terutama di wilayah Bali Selatan sebagai pusat pariwisata dengan wilayah Bali lainnya.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Bali I Wayan Wiasthana Ika Putra mengatakan, ketimpangan antar sektor pembangunan masih terjadi di Bali.
“Soal inklusifitas ini masih menjadi persoalan. Kalau inklusif seharusnya semua bisa menikmati tanpa terkecuali. Tapi saat ini yang terjadi sektor tersier mendominasi hingga 75 persen,” kata Ika Putra di Denpasar, Selasa, 14 Januari 2025.
Ia menyebut, data BPS mengungkap kemiskinan di Bali menurun 4,0 persen di tahun 2023. Namun, angka kemiskinan ekstrem meningkat di tengah angka kemiskinan Bali terendah nasional.
“Kalau bicara data bagus, kemiskinan terendah, pengangguran terendah, secara makro semuanya bagus. Ternyata di balik itu ada hal yang harus kita jawab, ekonomi belum merata,” ujarnya.
Ika Putra mengakui, tahun 2025 menjadi tahun dengan tantangan berat dengan adanya pergantian kepala darah baru di seluruh Bali. Menurutnya, hal itu akan berpengaruh dengan kebijakan.
Kepala Perwakilan wilayah Bank Indonesia Indonesia Erwin Soeriadimadja mengatakan, tahun 2024, Bali menutup pertumbuhan ekonomi sebesar 5,43%.
Bank Indonesia memproyeksikan sektor potensial di 2025 yakni, pertanian, infrastruktur dan pengembangan ekonomi kreatif berbasis budaya.
“Perekonomian di Bali ini sangat bergantung pada tingkat konstruksi sebesar 53,10% dan investasi dengan kontribusi 27,5%,” kata Erwin.
Erwin mengatakan, investasi di Bali 92 masih berfokus pada kebutuhan tersier di sektor jasa pariwisata. Bank Indonesia mendorong adanya diversifikasi ekonomi di sektor primer dan sekunder.
“Dua sektor diluar kebutuhan tersier saat ini masih terbatas,” jelas Erwin Soeriadimadja. (Way)