Nusantara Bersatu, Lapangan Renon ‘Banjir’ Pita Merah Putih

oleh
Kegiatan Nusantara Bersatu bertema ‘Indonesiaku Indonesiamu Indonesia Kita bersama Bhineka Tunggal Ika’ yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Bali bekerjasama dengan Korem 163/WSA dan Polda Bali. Kegiatan tersebut membagikan pita Merah Putih untuk diikatkan di kepala dan dilanjutkan dengan doa bersama, Rabu, 30 November 2016 - foto: Istimewa

KORANJURI.COM – Sekitar 10.000 orang memadati lapangan Puputan Renon melaksanakan kegiatan Nusantara Bersatu dengan tema ‘Indonesiaku, Indonesiamu, Indonesia Kita, bersama Bhinneka Tunggal Ika’. Secara serentak, kegiatan nusantara bersatu dilakukan di semua wilayah di Indonesia.

Gubernur Bali, I Made Mangku Pastika yang hadir dalam acara itu mengatakan, generasi muda kembali menyadari makna Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai pemersatu bangsa.

“Generasi muda harus mulai menanyakannya kepada guru dan para generasi senior untuk memahami semboyan tersebut,” kata Mangku Pastika, Rabu, 30 November 2016.

Dikatakan, para pendiri bangsa sudah mengikrarkan nilai keragaman dan sudah mengantisipasi akan adanya perpecahan tersebut. Saat ini, kata Pastika, pengamalan dan pemahaman Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sudah melenceng.

“Tidak ada yang boleh memonopoli Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika seolah miliknya sendiri. Itulah yang akan menyebabkan perpecahan,” tambah Pastika.

Aksi nasionalisme itu diiringi dengan kegiatan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan lagu wajib Indonesia. Sejumlah siswa SD hingga SLTA dilibatkan dalam kegiatan itu termasuk unsur TNI/Polri, jajaran FKPD di Bali, FKUB, Organisasi Kemasyarakatan dan tokoh etnis nusantara hingga Legiun Veteran.

Ketua Purna Paskibraka Indonesia Provinsi Bali, I Dewa Agung Suganda mengatakan, sebagian kelompok masyarakat kerap menyelesaikan persoalan dengan intoleransi dan kecenderungan menggunakan kekerasan.

Menyelesaikan persoalan atas nama negara menjadi sangat kontradiktif dengan fenomena fanatisme kelompok dan tindakan teror.

“Ini menunjukkan bahwa menghargai perbedaan sebagai sebuah demokrasi masih jauh dari yang diharapkan. Demokrasi seperti jadi jalur kelompok dan politik yang mengabaikan hak warga sipil,” jelas Dewa Agung Suganda.
 
 
Yan

KORANJURI.com di Google News