Money Laundering dari Kacamata Pemantau Korupsi di Bali

oleh
Putu Wirata Dwikora - foto: Koranjuri.com

KORANJURI.COM – Ciri khas money laundering atau pencucian uang adalah menyembunyikan dan menyamarkan kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana lain. Ironisnya, undang No 15 tahun 2002 itu seperti dorman alias mati suri karena tidak pernah digunakan.

Pentolan Bali Corruption Watch (BCW), Putu Wirata Dwikora mengungkapkan, tindak pidana asal atau predicate crime dalam UU di Indonesia ditempatkan sebagai syarat untuk dapat terjadinya suatu tindak pidana pencucian uang. Money laundering tidak bisa berdiri sendiri harus ada tindak pidana asal, seperti korupsi, asuransi, atau kejahatan narkotika.

Yang jadi ciri khas dari tindak pidana pencucian uang ini dikatakan lagi, ada pihak lain yang dititipi dana atau dijadikan barang lain untuk menyembunyikan dan menyamarkan kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana lain. Dengan begitu menyulitkan aparat penegak hukum untuk menelusuri.

“Kalau ada sinyalemen Bali dijadikan tempat pencucian uang, kemungkinan ada kasus seperti itu. Tapi kalau jual beli tanah maupun vila yang banyak terjadi di Bali, itu masih perlu dibuktikan lagi. Money laundering tidak sesederhana itu,” ungkap Wirata ketika ditanya tentang maraknya pembelian tanah oleh bos-bos asal Jakarta.

Dari penelusuran KORANJURI.com, para big bos asal kota Metropolitan seperti berusaha mengalihkan investasi ke Bali dengan membeli properti atau tanah. Tanah yang umumnya berada di jantung wisata Bali seperti, Jimbaran, bukit Pecatu maupun hotel dan villa, selalu jadi incaran. Informasi yang ada menyebutkan, para bos tersebut umumnya datang ke Bali sebentar untuk memastikan lahan yang ditawarkan kemudian kembali lagi ke Jakarta. Mereka berada di Bali hanya beberapa jam sebelum akhirnya memutuskan beli atau tidak.

“Biasanya yang datang adalah orang suruhannya. Ada juga sih, bos besarnya datang langsung tapi sangat jarang. Mereka memastikan lokasinya saja tanah yang ditawarkan itu. Kalau memang kita lagi hoki ya langsung deal. Tapi terlalu banyak permainan internal yang membuat pembelian batal, padahal mereka sudah tertarik dan berniat membeli,” ungkap seorang broker tanah.

Soal apakah bos dari Jakarta yang melirik investasi di Bali seorang pejabat negara, para perantara tanah ini juga belum yakin benar. Investasi tanah di Bali yang notabene harganya sangat fantastis menurut mereka bisa dilakukan oleh siapa saja. Bahkan, investor lebih berani menanamkan investasi tanahnya di Bali ketimbang para pejabat negara yang banyak diduga melakukan tindak pencucian uang.

Putu Wirata Dwikora juga berpendapat sama. Menurut pria asal Karangasem Bali ini, bisnis bisa dilakukan oleh siapa saja. Intinya seperti yang ia sampaikan, indikasi pencucian uang terjadi jika orang membelanjakan uang untuk membeli sesuatu yang harganya diluar batas kewajaran atau bahkan tak masuk akal.

“Belanja diatas kebiasaan ekonomis, itu yang patut dicurigai. Kalau pebisnis sudah tentu perhitungannya cermat bahkan untuk investasi di Bali sekalipun,” tutur Wirata Dwikora.
 
 
 
way

KORANJURI.com di Google News