KORANJURI.COM – Nusa Lembongan hanyalah sebuah desa yang jadi satu bagian dengan Kecamatan Nusa Penida. Meski satu kecamatan, namun keduanya merupakan pulau yang terpisah.
Luasnya sekitar 6,15 km dengan dikelilingi perairan. Alam dan keindahan panorama bawah laut yang dimiliki, menjadi berkah tersendiri bagi desa internasional yang banyak dikunjungi wisatawan asing itu.
BACA JUGA
Nusa Lembongan ‘Menyala’ di Malam Hari
Wisata air jadi andalan di pulau Nusa Lembongan. Dalam sepaket perjalanan, wisatawan dapat menikmati indahnya panorama bawah laut hingga produksi rumput laut yang dibudidayakan warga sekitar.
Untuk menikmati sensasi bawah laut, Ponton jadi salah satu pilihan untuk wisatawan. Ponton sendiri merupakan kapal dengan lambung datar yang mengapung di tengah laut.
Ponton umumnya dilengkapi dengan wahana permainan yang cukup lengkap mulai dari water slider, snorkeling, diving hingga pengalaman melihat konservasi koral.
“Semua dilakukan dari ponton. Untuk konservasi prosesnya dilakukan dengan mengikat coral yang rusak, setelah itu diturunkan dari samping ponton dan staf diving akan memindahkan ke tempat coral restoration,” kata Arya, Cruise Coordinator Bali Hai, Jumat (13/9/2024).
Ia mengatakan, areal konservasi terumbu karang memiliki seluas 100 meter persegi. Upaya rehabilitasi biota laut itu dilakukan setiap hari saat matahari berada di tengah, pukul 12.00.
“Jadi kalau melakukan snorkeling dan diving, akan melihat kebun bawah air yang indah dan banyak warna,” kata Arya.
Petani Alga yang Tak Lagi Menjanjikan
Pulau resor di Bali itu bukan saja menawarkan surga perairan dan kehidupan masyarakat agraris. Meski secara keseluruhan, warga Desa Nusa Lembongan mengandalkan perekonomian mereka dari pariwisata.
Namun, di luar profesi hospitality, masih ada warga yang tetap berharap mendapatkan rejeki dari budidaya rumput laut. Para warga berusia paruh baya tetap setia bercocok tanam alga, di tengah harganya yang bergejolak dan semakin anjlok.
“Sekarang harganya Rp12.000 per kilogram, jauh turun dibandingkan dulu. Tapi ini yang bisa kami lakukan di sini,” kata Ni Made Kartini, seorang penggarap rumput laut.
Hasil panen rumput laut itu dibeli oleh pengepul dari Surabaya kemudian diekspor ke sejumlah negara di Asia. Ni Made Kartini bersama petani rumput laut yang lain tak punya pilihan, selain tetap menekuni profesinya untuk tetap bertahan.
“Dari hasil yang kita panen, sekitar setengahnya kita tanam lagi untuk dibudidayakan. Jadi, yang bisa kami jual cuma separo dari hasil panen,” ujarnya. (Way)