LSM di Solo Gugat Tanah Negara Berganti Pemilik

oleh
LSM Lapaan RI (Lembaga Pengawas Anggaran dan Aset Negara Republik Indonesia ), mengadakan audensi dengan pimpinan kantor BPN Surakarta beserta jajarannya (13/10) - foto: Media/Koranjuri.com

KORANJURI.COM – Masih terkait dugaan adanya mafia tanah, LSM Lapaan RI (Lembaga Pengawas Anggaran dan Aset Negara Republik Indonesia), mengadakan audensi dengan pimpinan kantor BPN Surakarta beserta jajarannya (13/10). Dalam audensi tersebut Lapaan RI diwakili oleh Ketua Umum Kusumo Putra, Sekjen Wisnu Tri Pamungkas, serta Trisno Wibowo, selaku ketua devisi hukum Lapaan RI.

Audensi dimaksudkan untuk meminta informasi yang valid tentang prosedur serta kepatutan sebuah tanah negara bisa disertifikatan atas nama pribadi atau perorangan. Karena selama ini peralihan hak atas tanah negara ke pemilik pribadi dianggap sangat gampang. Bahkan saking gampangnya, tanah negara seluas 2.870 m2 di wilayah Laweyan, bisa dialih-namakan hanya dengan referensi dari pejabat tingkat bawah (Kalurahan dan Kecamatan).

“Tentu saja kami sebagai warga negara sangat heran. Kenapa tanah negara seluas itu dengan nilai aset yang sangat besar, bisa dengan gampangnya berpindah kepemilikan ke milik pribadi atau swasta,” terang Kusumo.

Dalam paparannya, Kusumo menduga ada mafia tanah yang bermain antara pejabat Kalurahan, Kecamatan, dan mungkin oknum dari pegawai BPN. Karena lahan tanah sebagai aset negara yang seharusnya bisa bermanfaat untuk rakyat banyak, bisa jatuh ke tangan pribadi. Ia menduga banyak permainan serta indikasi gratifikasi dalam proses pengalihan hak atas tanah tersebut.

Tanah negara itu berada di Jl. Ahmad Yani, atau sebelah barat traffic-light Sumber, perbatasan Laweyan-Banjarsari, Surakarta.

“Dari berbagai temuan data yang ada, saat proses pengalihan sertifikat, diduga kuat ada kongkalikong antara pihak pemerintahan Kalurahan Kerten, Kecamatan Laweyan, pemilik baru, serta lembaga BPN Surakarta. Sesuai UU Pokok Agraria, UU Perpajakan, diduga banyak terjadi penyimpangan serta cacat hukum dalam prosesnya,” sambung Kusumo.

Bahkan yang lebih aneh lagi, di surat pernyataan pemohon sertifikat tertulis status tanah adalah Tanah Negara. Namun di surat pernyataan yang ditanda-tangani Lurah dan Camat tertulis Tanah Negara Bebas. Dua istilah tersebut tentu saja berbeda makna, mengingat di kota Surakarta sudah jarang ada hutan, gunung, atau rawa-rawa yang mengindikasikan tanah negara bebas.
Satu hal lagi, ada kejanggalan dalam hal luas tanah yang dimaksud. Yaitu saat pemohon membuat surat pernyataan permohonan pengalihan, tertulis luasnya hanya 2.800 m2. Namun anehnya setelah jadi sertifikat, malah tercantum luasnya menjadi 2.870 m2.

“Padahal jika dilihat sesuai dengan nilai NJOP, harga tanah saat itu Rp 10 juta per meter. Sehingga nilai total sekitar Rp 700 juta. Nah tentu saja hal ini merupakan indikasi kesemrawutan, jika tidak mau disebut cacat hukum,” ujarnya.

Menurutnya, pihak yang berwenang harus membatalkan sertifikat itu demi keadilan dan hukum. Sementara itu, kepala BPN Surakarta Sunu Duta Wijaya, mengatakan sangat berterima-kasih dan menghargai atas itikad baik dari Lapaan RI. Namun ia mengatakan bahwa pengalihan lahan yang dimaksud selama ini sudah sesuai prosedur dan mekanisme.

Dan ia juga mengatakan bahwa memang kuasa Lurah yang paling berwenang di tingkat bawah, untuk menentukan apakah tanah tersebut milik negara dan bisa dialihkan kepemilikan ke pihak lain atau perseorangan. Mengenai durasi waktu pengurusan sertifikat, memang BPN mempunyai klasifikasi waktu yang berbeda-beda. Atau tergantung dari jenis layanan sertifikat dengan waktu maksimum yang sudah dipajang di loket pengurusan.

“Begitu pula mengenai tafsir istilah tanah negara dan tanah bebas negara, sebetulnya hanyalah perbedaan istilah. Namun pada intinya keduanya mengandung arti yang sama. Yaitu sama-sama masih milik negara, atau dikuasai oleh negara sesuai UU yang berlaku,” jelas Sunu.

Sehingga dalam hal ini, pihak BPN mengaku sudah sah dalam menerbitkan sertifikat tersebut. Namun ia juga menambahkan, meskipun sebuah sertifikat tanah atau lahan sudah sah secara hukum. Namun bila di kemudian hari terbukti mengandung cacat hukum saat proses kepemilikannya, bisa saja batal atau dicabut status kepemilikannya. Dan pihak BPN siap menunggu jika memang ada kekuatan hukum yang membatalkannya. (Med)

KORANJURI.com di Google News