KORANJURI.COM – Gunung Agung di Kabupaten Karangasem, Bali, memiliki sejarah letusan dahsyat 54 tahun silam. Saat itu letusan menewaskan sekitar 1.100 jiwa, yang sebagian terkena aliran lahar.
Badan Geologi mencatat, letusan Gunung Agung pada 12 Maret 1963 itu menciptakan kolom erupsi setinggi 8-10 km di atas puncak Gunung Agung dan disertai oleh aliran yang menghancurkan beberapa desa yang ada di sekitar Gunung Agung.
“Volcanic Explosivity Index (VEI) mencapai skala 5 dan mengalami erupsi sangat besar,” jelas Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, dalam keterangan tertulis yang diterima Koranjuri.com, Kamis (14/9/2017) kemarin.
Sutopo Purwo Nugroho menambahkan, aktivitas Gunung Agung selesai pada tanggal 27 Januari 1964 dan menyisakan kawah dengan diameter 500 meter dan kedalaman hingga 200 meter.
Jika terjadi letusan, wilayah yang berpotensi terancam jatuhan piroklastik dapat tersebar di sekeliling Gunung Agung atau tergantung pada arah angin. Dengan kondisi aktivitas seperti saat ini, apabila terjadi letusan, potensi bahaya diperkirakan masih berada di area tubuh Gunung Agung yang berada di lereng Utara, Tenggara, dan Selatan gunung.
Sementara itu, ancaman bahaya secara langsung berada di daerah utara gunung, seperti di daerah aliran sungai Tukad Tulamben, Tukad Daya, Tukad Celagi yang berhulu di area bukaan kawah, Sungai Tukad Bumbung di Tenggara, Pati dan Tukad Panglan. Area Tukad Jabah di Selatan Gunung Agung berpotensi terhadap bahaya aliran piroklastik dan lahar.
“Masyarakat dihimbau untuk tetap tenang dan tidak terpancing pada hal-hal yang menyesatkan. Letusan gunung bersifat slow on set. Artinya tidak seketika meletus, namun selalu mengeluarkan tanda-tanda peningkatan aktivitas vulkanik sebelumnya sehingga PVMBG dapat menetapkan rekomendasi lebih lanjut,” tambah Sutopo. (*)