KORANJURI.COM – Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Provinsi Bali, Emanuel Dewata Oja mengapresiasi langkah Arya Wedakarna yang menempuh jalur Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers, dalam menyelesaikan sengketa pemberitaan antara dirinya dengan beberapa media di Bali.
Langkah tersebut, menurut Emanuel yang akrab disapa Edo ini, merupakan preseden positif dan juga edukasi yang baik bagi masyarakat untuk bersama menjamin kemerdekaan Pers di tanah air. Salah satunya, menempatkan amanat Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dalam menyelesaikan sengketa pemberitaan.
Sebab faktanya, selama ini begitu banyak masyarakat yang bersengketa dan merasa dirugikan dengan pemberitaan media mainstream, justru menempuh jalur pidana dengan KUHP dan UU ITE.
“Langkah yang ditempuh AWK ini, sangat kita apresiasi. Ini secara tidak langsung merupakan salah satu cara menjamin Kemerdekaan Pers, juga merupakan edukasi yang sangat penting bagi masyarakat dalam berinteraksi dengan Pers di tanah air. Apa yang dilakukan AWA adalah aktualisasi perintah UU nomor 40 tahun 1999 pasal 5 ayat 2 dan pasal 5 ayat 3,” ujar Edo yang saat ini adalah Kepala Cabang Siberindo Bali di Denpasar, Rabu, 27 Januari 2021.
Dikatakan, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Daerah Pemilihan Bali itu, beberapa waktu lalu telah mengadukan empat media yang terdiri dari media cetak dan media online ke Dewan Pers.
AWK menilai pemberitaan media tersebut telah merugikan dirinya yang disebutnya telah melakukan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik dengan dalih pencemaran nama baik. Terlepas dari apapun keputusan Dewan Pers atas pengaduan AWK tersebut, langkah menempuh jalur UU Nomor 40/1999 adalah langkah yang sangat positif untuk menegakkan kemerdekaan Pers.
Sebab kata Edo, mekanisme penyelesaian yang dapat ditempuh dalam hal terdapat pemberitaan yang dinilai merugikan pihak lain adalah melakukan Hak Jawab. Ketentuan ini termaktub dalam Pasal 5 ayat 2 UU Nomor 40/1999 dan Hak Koreksi yang termaktub dalam Pasal 5 ayat 3 UU Nomor 40 tersebut.
Dikatakan, Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baik seseorang. Sedangkan Hak Koreksi, adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh Pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Dalam sengketa pemberitaan, kata Edo lagi, masyarakat mestinya berpedoman pada UU Nomor 40 tahun 1999 tersebut, yang juga telah dikuatkan dengan MoU antara Dewan Pers dan Polri, nomor 2/DP/MoU/II/2017 tanggal 9 Februari 2017 silam yang dengan tegas menyatakan penyelesaian sengketa pemberitaan harus menempuh jalur UU Nomor 40 tahun 1999.
“Semua sudah jelas. Maka langkah AWK ini saya apresiasi betul. Sebab saat ini kita memang menghadapi kegamangan dalam penerapan UU Nomor 40 tahun 1999. Ada yang mengatkan bahwa UU nomor 40 itu lex spesialis, nyatanya mayoritas penyelesaian sengketa Pers oleh masyarakat menempuh KUHP dan UU ITE. Yang terjadi saat ini, UU Nomor 40 tahun 1999 itu sifatnya hanya ultimum remidium alias ban serep,” kata Edo yang juga Wakil ketua Bidang Organisasi PWI Bali ini. (*)