Kementerian Kebudayaan Kick Off Subak Spirit Festival di Warisan Budaya Dunia Jatiluwih

oleh
Kurator dan konseptor Subak Spirit Festival Dibal Ranuh (kanan) dan Manajer Operasional Desa Wisata Jatiluwih I Ketut Purna (kiri) - foto: Koranjuri.com

KORANJURI.COM – Kementerian Kebudayaan menggelar kick off event Subak Spirit Festival di Desa Wisata Jatiluwih, Sabtu, 9 November 2024. Festival ini menjadi gerakan berkelanjutan dalam pelestarian budaya subak di Bali.

Kurator dan konseptor acara Dibal Ranuh mengungkapkan, festival itu sebagai penanda langkah penting dalam mengapresiasi warisan subak di Bali. Tema yang diangkat tahun pertama yakni, ‘Pemulihan Air untuk Kehidupan’.

“Ada tujuh kategori yang diangkat dalam event pertama ini yakni, ekologi, hiburan, olahraga, pendidikan, budaya, gastronomi, dan publikasi,” kata Dibal Ranuh di Tabanan, Sabtu, 9 November 2024.

Festival Subak menampilkan pesta rakyat dari para pelaku UMKM, kuliner daerah hingga pertunjukan musik dan gerakan seniman masuk sekolah.

Venue yang digunakan berlokasi di tengah persawahan Jatiluwih yang ditetapkan sebagai heritage oleh UNESCO pada tahun 2012. Tradisi dan budaya Bali itu, kata seniman Dibal Ranuh, ditampilkan untuk merayakan sawah sebagai jantung kehidupan masyarakat Bali.

“Event ini baru pertama digelar dan kita harapkan akan berlangsung setiap tahun dengan lokasi yang berbeda,” ujarnya.

Manajer Operasional Desa Wisata Jatiluwih I Ketut Purna atau Jhon Purna mengatakan, kegiatan yang dipusatkan di Jatiluwih memberikan dampak langsung kepada masyarakat.

Para penggarap sawah maupun petani di Jatiluwih punya peluang lain mempromosikan tradisi dan budaya seperti yang selalu mereka lakukan saat merawat sawah, mulai dari proses tanam hingga panen.

“Hampir semua kegiatan di Jatiluwih dampaknya dirasakan oleh masyarakat sekitar. Warga yang punya usaha kuliner diuntungkan, sampai akomodasi di sini hari ini penuh sampai hotel-hotel yang ada di Baturiti,” kata Jhon.

Sementara, areal sawah yang ada di Jatiluwih diakui Jhon Purna saat sempat berkurang. Hal itu disebabkan oleh sulitnya pengairan yang hanya mengandalkan tiga sumber air dari Batukaru, Danau Buyan dan Danau Tamblingan.

Ia mengatakan, areal lahan persawahan Jatiluwih tidak banyak terjadi pengurangan. Berkurangnya areal lahan bukan karena kehendak petani.

“Debit air dari sumbernya memang berkurang, itu lah kenapa lahan pertanian ada yang berubah jadi perkebunan,” kata Jhon Purna.

Kata Jhon Purna, justru yang perlu dikhawatirkan adalah adanya bangunan di areal persawahan. Maka dari itu, Desa mengeluarkan Peraturan Desa (Perdes) yang tidak membolehkan adanya bangunan.

“Kegiatan seperti ini sangat positif, saya harap festival terus diadakan dan memberikan hasil yang baik untuk lingkungan di Jatiluwih,” ujarnya. (Way)

KORANJURI.com di Google News