Kearifan Lokal Menggerakkan Ekonomi Hijau



KORANJURI.COM – Pagi Motley menjadi salah satu IKM penggerak ekonomi hijau yang muncul dari daerah. Eksistensi industri kecil menengah dari Buleleng, Bali ini, seperti melengkapi sejumlah isu yang diusung dalam Presidensi G20 salah satunya, investasi hijau.
Pagi Motley mengembangkan pewarna kain alami yang bahan bakunya cukup banyak tersedia di lingkungan. Mengembangkan pewarna alami pada kain menjadi karakteristik dari produk-produk fesyen Pagi Motley.
Industri kecil yang berlokasi di Desa Sembiran, Tejakula, Buleleng itu, sejak berdiri pada tahun 2019, konsisten mengolah warna yang terintegrasi dengan bahan baku alam.
Made Andika Putra, pendiri Pagi Motley menjelaskan, pangsa pasar produk fesyen dan bahan baku mulai beralih pada produksi yang berkelanjutan. Kembali ke alam juga menjadi pilihan para desainer maupun pecinta fesyen di negara-negara maju.
“Kita memiliki pasar di 10 negara, terutama di Amerika maupun Eropa. Namun saat ini, Negara-negara di Asia seperti Jepang dan Korea juga menjadi pasar yang menjanjikan,” kata Andika ditemui di tempat produksinya di Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng, Bali.
Pria yang 18 tahun berpengalaman mengolah warna alami ini menjelaskan, bahan-bahan yang digunakan untuk mewarnai kain mudah ditemukan. Ia mencontohkan, warna coklat diambil dari serabut kelapa yang diolah melalui proses pemasakan sebelum dijadikan bahan pewarna.
Untuk pewarnaannya sendiri, dilakukan melalui beberapa tahapan diantaranya, membersihkan kain dengan pencucian selama satu jam. Kemudian, masuk proses mordan untuk membuka pori-pori kain agar mudah menyerap warna.
“Biasanya kita dapat warnanya empat kali celup, itu bisa lebih efektif hanya 2 sampai 3 kali pencelupan saja. Ini untuk mengurangi proses produksi,” jelas Andika.
Meski Pagi Motley memproduksi pakaian jadi dan bahan baku fesyen berupa kain, namun untuk saat ini, justru jasa pencelupan menjadi andalannya. Negara Korea menjadi peminat terbesar dari pengolahan kain warna alami di Pagi Motley.
Rata-rata omzet per bulan yang dihasilkan mencapai Rp 150 juta hingga Rp 200 juta. Andika mengungkapkan, kebutuhan jasa pewarnaan alami di masa pandemi justru mengalami kenaikan yang signifikan.
“Saat ini, orderan terbanyak berasal dari Korea dan Amerika. 80% penjualannya masih jasa celup, tapi saya juga bikin produk seperti kain tenun,” kata Andika.
“Selain itu, kita juga produksi untuk kebutuhan artisan di bidang seni. Kita bisa produksi massal tapi tak terlalu banyak, sekitar 100-200 meter per buyer,” tambahnya.
Salah satu UMKM binaan Kantor Perwakilan wilayah Bank Indonesia (KPwBI) Provinsi Bali ini, mampu melebarkan sayap dengan menembus pasar ekspor. Pagi Motley juga dilibatkan dalam berbagai kegiatan pameran untuk promosi produk.
“Setelah dibina BI dan banyak mengikuti event maupun pameran, pasar kami mulai terbuka, terutama ekspor,” ujarnya.

Produk tenun endek melalui proses pewarnaan alami yang dikembangkan UMKM Pertenunan Artha Dharma dari Desa Sinabun, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng, Bali – foto: Koranjuri.com
Sementara, UMKM Pertenunan Artha Dharma sejak tahun 2003 juga mengembangkan warna celup alami untuk tekstil yang diproduksinya. Bahan yang digunakan berasal dari dedaunan dan akar-akaran yang diolah untuk mendapatkan warna yang diinginkan.
Prosesnya pun lebih panjang hanya untuk mendapatkan satu warna solid. Namun, teknologi ramah lingkungan yang diterapkan memberi jaminan dalam mengamankan penggunaan sumber daya alam.
Pemilik Pertenunan Artha Dharma I Ketut Rajin mengatakan, untuk satu warna membutuhkan waktu 15 hari. Maka tak heran kalau proses produksi yang panjang berpengaruh terhadap harga jual.
“Itulah kenapa harga di pasaran lebih tinggi, karena kita butuh proses yang lumayan lama,” kata Ketut Rajin di Buleleng, Bali.
Dijelaskan, proses pewarnaan itu bisa dilakukan secara langsung dengan mencelupkan kain ke air yang sudah dicampur bersama olahan daun-daun maupun akar-akaran. Ada juga, prosesnya diekstrak terlebih dulu menjadi serbuk, kemudian digunakan untuk warna.
Dengan cara ekstrak ini, hasil warna pun juga lebih bagus dibanding proses celup biasa. Ketut Rajin mengatakan, pola pewarnaan seperti itu bisa dikolaborasikan dengan kain endek maupun songket.
“Jadi hasilnya bisa dilihat mana yang pakai alam murni, mana yang ekstrak dan mana yang kimia, perbedaannya ada disitu,” terangnya.
Ketut Rajin juga mengatakan, ketika dirinya menerapkan pola celup alam di tahun 2003, pasar belum merespons produk fesyen ramah lingkungan itu. Sebab, tren pasar di awal tahun 2000-an masih dominan warna-warna kuat yang tampak norak.
Namun pada perjalanannya, tren mulai berubah. Warna primer yang kalem mulai mendapatkan tempat dan diminati pasar. Secara perlahan, pewarnaan dengan menggunakan bahan kimia mulai bergeser digantikan warna alam yang lebih elegan.
“Namun setelah ada perbandingan warna alam, pasar mulai bergeser, jadi sudah mengetahui mana yang alam dan kimia, sehingga tampilannya juga beda,” kata Ketut Rajin.
Hingga saat ini, UMKM binaan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali itu konsisten menggunakan proses celup untuk pewarnaan.
“Meski harganya sedikit mahal tapi produk berbahan alami ini berkelanjutan dan ramah lingkungan,” kata Ketut Rajin.
Melalui UMKM dan IKM yang berpihak pada produksi ramah lingkungan, menunjukkan bahwa, pelaku ekonomi strata bawah pun, ikut mengangkat produk hijau yang pangsa pasarnya telah merambah ke sejumlah negara di dunia. (Way)