KORANJURI.COM – Kampung pesisir yang bernama Loloan, di Jembrana, Bali, ini menjadi sebuah kampung yang cukup unik. Karena disitu masyarakatnya punya bahasa sendiri untuk berkomunikasi antar sesama warga. Konon, bahasa ibu yang digunakan merupupakan perpaduan dari bahasa Bugis, Melayu dan Bahasa Bali. Seperti apa Kampung Loloan itu?
Muhamad Daud, warga Loloan Timur yang juga seorang tokoh masyarakat Islam Loloan, mengungkapkan, Loloan adalah nama desa yang berada di kabupaten Jembrana Propinsi Bali, yang dipisahkan oleh sebuah sungai yang disebut sungai Ijo Gading menjadi dua desa, Loloan Barat dan Loloan Timur.
Selain itu, satu-satunya jalan yang menghubungan dua kampung kembar itu dihubungkan oleh sebuah jembatan yang bernama Jembatan Syarif Tua.
“Loloan memiliki bahasa sendiri yang tidak sama dengan bahasa wilayah di sekitarnya. Bukan bahasa Bali, bahasa Jawa, atau pun lainnya. Tapi bahasa kampung Loloan. Disini disebut dengan Base Loloan yang lebih mirip dengan bahasa melayu,” ungkap Muhamad Daud.
Warga yang menghuni kampung kembar itu sekarang jumlahnya lebih 65.000 jiwa. Dalam kehidupan sehari-hari mereka hidup dengan adat-istiadat Melayu. Tak heran, memasuki kedua kampung ini, suasana Melayu akan sangat terasa. Orang Melayu di sana umumnya semuanya memeluk Islam dan berpakaian Melayu. Di kampung itu juga berdiri masjid dan sejumlah pesantren.
Tradisi masyarakat Loloan sangat terbuka dengan masyarakat setempat dan sangat menghormati adat-istiadat lokal yang ada di Bali. Toleransi itu terlihat jika warga Bali merayakan hari raya keagamaan seperti Nyepi. Begitu juga sebaliknya, orang Bali juga sangat menghormati warga Kampung Loloan yang kerap menyelenggarakan acara-acara bernuansa Islami.
Tidak perlu heran, jika datang ke Kampung Loloan bahasa yang terdengar layaknya berada di Malaysia ataupun wilayah di Aceh. Mereka mengganti kata saya dengan awak atau kamu dengan kau, atau dia dengan die. Namun, tidak sedikit pula bahasa Melayu terpengaruh dengan Bahasa Bali.
“Pada mulanya orang Melayu di Bali umumnya berbahasa Bugis. Akan tetapi, tersebab dakwah agama waktu itu menggunakan bahasaMelayu, bahasa Bugis menjadi agak tersisih dan digantikan dengan bahasa Melayu,” jelas Daud.
Keberadaan daerah Loloan, menurut Daud, tidak bisa dipisahkan dari sejarah masuknya Islam di Jembrana. Menurutnya, Islam pertama kali masuk Jembrana sekitar tahun 1653 hingga 1657. Mereka yang datang pada masa itu adalah penduduk Sulawesi Selatan. Diperkirakan mereka dikejar-kejar tentara VOC, tetapi karena kalah persenjataan, mereka memilih pergi.
“Akhirnya, penduduk yang datang dengan perahu Lambau dan Pinisi ini mendarat di Air Kuning. Saat itu penduduk asli Air Kuning sangat jarang. Kedatangan pendatang dari suku Bugis dan Makasar ini membuat Air Kuning menjadi ramai, hingga Air Kuning menjadi pemukiman pertama Islam di Jembrana,” jelasnya.
Sampai dengan tahun 1669, kehidupan Air Kuning sangat damai. Orang Bugis yang tidak bisa diam dan suka berlayar mulai melakukan aktivitas perdagangan. Mereka berlayar hingga ke Jawa untuk menjual produk-produk Jembrana. Pulangnya, mereka membawa kebutuhan pokok yang diperlukan warga Jembrana.
Penjual Loloh