KORANJURI.COM – Buntut gagalnya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surakarta mengesahkan RAPBD Kota Solo tahun 2025, membuat rakyat meradang.
Kritikan demi kritikian berdatangan, sebab para anggota dewan dianggap mementingkan kepentingan kelompoknya, ketimbang kepentingan rakyat.
Padahal gaji bulanan yang mereka terima setiap bulan di bayar dari hasil uang pajak rakyat.
Dampak dari gagalnya pengesahan RAPBD menjadi APBD 2025, pembangunan Kota Solo ke depan di pastikan akan mandeg. Sebab tidak ada dana hibah APBD untuk pembangunan dan ke masyarakat.
Begitu juga aktivitas event tahunan di Kota Solo yang menggunakan dana hibah APBD.
“Dampak yang lebih besar yakni perekonomian masyarakat akan terganggu. Sebab ketiadaan event event besar di kota Solo, berikut dengan pembangunan yang sudah di jadwalkan tidak jadi terselenggara, akan membuat daya beli masyarakat berkurang, karena perputaran perekonomian di Kota Solo terganggu,” ujar Akademisi sekaligus Ketua Yayasan UNDHA AUB Surakarta, Dr Anggoro Panji Nugroho, M.M menyikapi uletnya pertarungan kubu PDIP dan Koalisi Indonesia Maju Plus di legislatif, Kamis, 5 Desember 2024.
Anggoro mengungkapkan, uletnya pembahasan RAPBD Kota Solo Tahun 2025 tak lebih dari sekedar egoisme antara PDIP dan KIM Plus. Terlepas dari pertarungan sengit mereka di Pilpres dan Pilkada 2024, faktanya pertarungan tersebut masih terus berlanjut di legislatif.
Rakyat yang memiliki kedaulatan penuh terhadap partai politik yang menjadi representasi suara rakyat harusnya dipahami, jika kepentingan rakyat jauh lebih besar ketimbang kepentingan kelompok.
Sebagai anggota dewan tentu mereka memahami implementasi sila ke empat Pancasila yang berbunyi, Kerakyatan Yang Di pimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan’.
Implementasi sila tersebut dapat di maknai jika musyawarah untuk mufakat merupakan budaya yang harus di junjung tinggi dengan mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan.
Sedangkan kedaulatan tertinggi negara adalah rakyat. Oleh karena itu jika para anggota dewan memahaminya tentu tidak terjadi deadlock.
Sebagai kota budaya yang mengandalkan sektor jasa dan bisnis, kebutuhan APBD tentu saja tidak hanya untuk operasional pemerintahan dan belanja gaji pegawai, namun sebagian besar peruntukanya di pakai untuk rakyat.
Jika perputaran ekonomi di sektor jasa mandeg, dipastikan semua sektor pariwisata di Kota Solo akan terkena imbas. Karena dengan tidak adanya event event besar, jasa perhotelan dan rumah makan akan mandek. Usaha kecil menengah yang menggantungkan hidup dari geliatnya budaya dan pariwisata otomatis juga akan mandeg.
Padahal tahun baru dan Idul Fitri hanya berselisih dua hingga tiga bulan. Jika perekonomian Kota Solo berjalan lambat, maka rakyat akan menjerit. Jika hal itu tidak di sadari maka nurani kedewasaan politik para anggota dewan wajib di pertanyakan.
Anggoro berharap, para anggota dewan memahami dampak yang ditimbulkan jika RAPBD tidak di sahkan menjadi APBD 2025.
Sebelumnya banyak di beritakan di media online, masalah bermula ketika rapat Banggar yang dijadwalkan membahas RAPBD pada Kamis (28/11/2024) dihentikan tanpa batas waktu setelah terjadi ketegangan antara anggota DPRD.
Fraksi PDIP mempertanyakan keabsahan pembentukan Banmus dan Banggar, meskipun sebelumnya telah disepakati dalam rapat paripurna DPRD.
Wakil Ketua DPRD dari Fraksi PKS, Daryono, menilai bahwa sikap PDIP tersebut tidak konsisten. Menurutnya, proses pembentukan alat kelengkapan sudah melalui mekanisme panjang dan sah.
Ia menyebut perubahan sikap tersebut terkait dengan hasil Pilkada Solo 2024 yang memenangkan pasangan calon dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus. (*/JK)