KORANJURI.COM – Materi yang termaktub dalam UU Nomor 64 Tahun 1958 sebagai dasar pembentukan Provinsi Bali, dikatakan Gubernur Bali Wayan Koster, tidak mengakomidir kebutuhan perkembangan jaman dalam membangun Bali era sekarang.
Karena itu, Koster menemui Mendagri Tito Karnavian dan Menkumham Yasonna Laoly, Kamis, 5 Desember 2019 untuk mendorong agar RUU Provinsi Bali segera dibahas di tingkat nasional.
“Audensi ini untuk menyampaikan aspirasi masyarakat Bali mengenai RUU Provinsi Bali, sekaligus menyerahkan dokumen Usulan Draft RUU Provinsi Bali dan Naskah Akademik yang sudah disiapkan selama 1 tahun,” kata Gubernur.
Sejak tahun 2005, komponen masyarakat Bali ingin agar Provinsi Bali dipayungi UU untuk memperkuat keberadaan Bali dengan kekayaan keunikan adat-istiadat, tradisi, seni, budaya, maupun kearifan lokal yang telah terbukti jadi daya tarik dunia.
Saat ini, Provinsi Bali dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Sedangkan UU tersebut disusun pada masa RI masih dalam bentuk Serikat.
Materi dalam UU itu, menurut Koster kurang sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
RUU Provinsi Bali ini sebelumnya pernah dipaparkan dihadapan Anggota DPR RI Dapil Bali, Anggota DPD RI Dapil Bali, Pimpinan dan Anggota DPRD Provinsi Bali, Bupati/Walikota se-Bali, Ketua DPRD Kabupaten/Kota se-Bali, Ketua Lembaga Organisasi Keumatan semua Agama se-Bali, dan Tokoh masyarakat se-Bali.
Pemaparan dan Sosialisasi secara terbatas sudah dilaksanakan sebanyak dua kali yakni, tanggal 16 Januari 2019 di Kantor Gubernur Bali dan tanggal 23 November 2019, di Ruang Gajah, Gedung Jaya Sabha.
Ditambahkan Ketua DPD PDI Perjuangan Provinsi Bali ini, dasar Pertimbangan RUU Provinsi Bali yakni keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, antar sesama manusia, dan antara manusia dengan alam lingkungannya berlandaskan filosofi Tri Hita Karana.
Nilai-nilai kearifan lokal Bali itu memiliki, 6 sumber utama yakni, kesejahteraan dan kebahagiaan kehidupan masyarakat Bali (Sad Kerthi) perlu dipelihara, dikembangkan, dan dilestarikan secara berkelanjutan.
Pembangunan Bali harus diselenggarakan secara terpola, menyeluruh, terencana, terarah, dan terintegrasi dalam satu kesatuan wilayah untuk mewujudkan kehidupan masyarakat Bali yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
“Masyarakat Bali memiliki adat istiadat, tradisi, seni dan budaya, serta kearifan lokal yang adiluhung sebagai jati diri yang mengakar dalam kehidupan masyarakat serta menjadi bagian kekayaan kebudayaan nasional sesuai sesanti Bhinneka Tunggal Ika,” terangnya.
Menurutnya, pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah Bali, harus memerhatikan potensi daerah dalam bidang pariwisata dengan keindahan alam, kekayaan budaya, kearifan lokal, kondisi geografis dan demografi.
Serta, tantangan yang dihadapi dalam dinamika masyarakat dalam tataran lokal, nasional, dan internasional, untuk mempercepat tercapainya kesejahteraan masyarakat Bali dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan nilai-nilai Pancasila 1 Juni 1945.
“Pelaksanaan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah Provinsi Bali selama ini belum sepenuhnya menjamin pelestarian adat istiadat, tradisi, seni dan budaya, serta kearifan lokal sebagai jati diri masyarakat Bali dan belum mampu mencegah dampak negatif terhadap lingkungan sebagai akibat pemanfaatan ruang yang tidak terkendali, dan terjadinya ketimpangan perekonomian antarwilayah di Provinsi Bali, dan ketidakseimbangan pembangunan antarsektor sehingga menyulitkan terwujudnya kesejahteraan masyarakat Bali secara adil dan merata,” ungkapnya.
Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT), tidak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan dan perkembangan politik, ekonomi, sosial-budaya, potensi daerah, serta kemajuan teknologi, informasi, dan komunikasi, dalam rangka menciptakan otonomi daerah yang berdaya saing, sehingga perlu disesuaikan.
Dijabarkan Gubernur Koster, materi dan sistematika RUU Provinsi Bali terdiri dari 12 Bab dan 39 Pasal yaitu : Bab I Ketentuan Umum; Bab II Asas Dan Tujuan; Bab III Posisi, Batas, Dan Pembagian Wilayah; Bab IV Pola Dan Haluan Pembangunan Bali; Bab V Pendekatan Pembangunan Bali; Bab VI Bidang Prioritas Pembangunan Bali; Bab VII Pembangunan Bali Secara Tematik; Bab VIII Pembangunan Perekonomian Dan Industri; Bab IX Kewenangan Pemerintahan Provinsi Bali; Bab X Pedoman Penyusunan Dokumen Perencanaan Pembangunan Bali; Bab XI Pendanaan, dan Bab XII Ketentuan Penutup
“Berkenaan dengan hal tersebut, ijinkanlah Pemerintah Provinsi Bali bersama masyarakat Bali menyerahkan aspirasi Rancangan Undang-Undang Tentang Provinsi Bali beserta Naskah Akademik sebagai bahan kajian dan pertimbangan Bapak Menteri. Kami memohon agar Rancangan Undang-Undang Tentang Provinsi Bali dapat dimasukkan dalam Daftar Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2020,” imbuhnya.
“Kepada masyarakat Bali, sebagai orang Bali, dari daerah manapun datangnya, dari suku dan agama apapun, dan semua elemen masyarakat yang hidup dan mencari kehidupan dari Alam dan Budaya Bali saya menghimbau agar kompak, bersatu dan berjuang bersama mendukung aspirasi tersebut demi eksistensi dan keberlanjutan Bali, Pulau Dewata yang kita cintai bersama agar ke depan tetap bisa memberi kesejahteraan dan kebahagiaan bagi umat manusia,” pungkasnya.
Didukung Tito Karnavian
Bak gayung disambut, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mendukung penuh upaya Gubernur Wayan Koster bersama masyarakat Bali untuk memperjuangkan RUU Provinsi Bali.
“Kami akan serius dan bersungguh-sungguh untuk mendukung RUU Provinsi Bali. Kalau bisa, RUU ini masuk prolegnas 2020,” ujar Tito Karnavian.
Tito melihat Rancangan UU Provinsi Bali akan memberikan ruang gerak untuk pemerintah Provinsi Bali dalam mengembangkan potensi wisata budaya dan kearifan lokal untuk berkontribusi terhadap PAD maupun devisa negara.
“Kemudian memberikan ruang gerak yang lebih leluasa kepada otoritas Bali untuk mengembangkan potensi budaya yang khas dan kearifan lokal, tetapi dalam rangka kebhinekaan, toleransi sesuai dengan semangat Pancasila dan UUD 1945. Ini saya kira hanya 39 pasal, tidak juga memberatkan keuangan negara, justru dengan adanya keleluasan itu justru turis lebih banyak datang sehingga akan memberikan kontribusi devisa, pajak, dan lain-lain untuk kepentingan bukan hanya Bali, tapi juga kepentingan daerah lain di Indonesia,” pungkasnya.
Menteri Tito dalam kesempatan ini meminta Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri RI, Dirjen Hukum dan Biro Hukum Kemendagri berserius dan sungguh-sungguh ikut berjuang supaya RUU Provinsi Bali masuk Prolegnas 2020.
“Indonesia ini berutang dari Bali. Ini dukungan dan tujuannya agar Undang-Undang Provinsi Bali bisa dibahas dalam Prolegnas. Sekarang Negara Kesatuan Republik Indonesia, di bawah UUD 1945. Dari segi hukum saja, keberadaan Provinsi Bali ini ( berdasar UU No 64 Tahun 1958) menjadi tidak tepat. Ini salah satu alasan yang menjadi alasan UU Provinsi Bali di bawah UUD 1945,” tandas Tito.
Setelah melaksanakan audensi dengan Menteri Dalam Negeri, Gubernur Koster beserta rombongan selanjutnya melaksanakan audensi dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly untuk menyampaikan aspirasi masyarakat Bali mengenai RUU Provinsi Bali sekaligus menyerahkan dokumen Usulan Draft RUU Provinsi Bali dan Naskah Akademik. (*)