KORANJURI.COM – Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, Trisno Nugroho menjelaskan, Covid-19 berdampak pada penurunan ekspor akibat melambatnya permintaan dunia.
Rantai penawaran global terganggu, ditambah rendahnya harga komoditas global.
“Defisit transaksi berjalan triwulan I lebih rendah dari 1.5% Produk Domestik Bruto (PDB),” kata Trisno Nugroho, melansir pernyataan Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, Senin, 20 April 2020.
Namun penurunan impor juga besar karena aktivitas produksi dalam negeri juga menurun. Neraca perdagangan Indonesia Maret 2020 tercatat surplus USD 743,4 juta.
Dengan perkembangan tersebut, neraca perdagangan Indonesia pada triwulan I 2020 surplus USD2,62 miliar.
Kedua, defisit neraca jasa juga diperkirakan lebih rendah, didorong oleh penurunan devisa untuk biaya transportasi impor.
“Sekitar 8% dari nilai impor dipergunakan untuk freight and insurance. Impor yang menurun cukup tajam berdampak pada kebutuhan,” jelasnya.
Ketiga, penerimaan devisa pariwisata jauh lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. Perhitungan yang dilakukan sebelumnya, hanya memperhitungkan penurunan devisa pariwisata dari sisi jumlah wisatawan asing yang masuk.
Namun, dalam perkembangannya, terdapat pembatasan bepergian ke luar negeri termasuk pelaksanaan umroh. Sehingga mengurangi penggunaan devisa dari wisatawan nusantara yang tidak jadi keluar negeri.
Penurunan devisa untuk wisatawan asing yang masuk sekitar USD 2 miliar. Sementara, penurunan devisa yang keluar dari wisatawan nusantara yang tidak jadi keluar negeri sekitar USD 1,6 miliar.
“Bank Indonesia juga memprediksi penurunan defisit transaksi berjalan kemungkinan akan meningkat pada triwulan II dan III 2020. Sebab, dampak tekanan ekonomi akibat pandemi covid-19 lebih dalam pada periode ini,” jelasnya.
BI memperkirakan ekonomi nasional berangsur membaik di triwulan IV dan pulih pada tahun depan. Sehingga, secara keseluruhan, defisit tahun berjalan tahun ini diperkirakan akan lebih rendah.
Saat ini, pergerakan nilai tukar rupiah yang bergerak stabil dan cenderung menguat. Hal itu menunjukkan keyakinan pasar yang terus membaik.
Faktor yang mendukung stabilitas nilai tukar yakni, pelaku pasar dalam dan luar negeri memiliki confidence. Karena Bank Indonesia selalu berada di pasar dan menempuh langkah-langkah yang diperlukan dalam menjaga stabilitas nilai tukar.
Kepercayaan diri yang membaik ini didukung langkah-langkah yang ditempuh dari berbagai negara di dunia, baik dalam penanganan COVID-19 maupun stimulus fiskal dan moneter yang besar, termasuk di Indonesia.
Hal itu, menurut Trisno, juga terlihat pada stimulus fiskal (kenaikan defisit fiskal) Pemerintah, quantitative easing dari Bank Indonesia dan kebijakan relaksasi kredit dari OJK.
Selain itu, mekanisme pasar berlangsung dengan baik. Sehingga mengurangi kebutuhan Bank Indonesia untuk melakukan stabilisasi.
Hal ini berdampak pada posisi cadangan devisa yang meningkat. Faktor lainnya yakni, selama satu minggu terakhir khususnya pada periode 14-16 April 2020, terjadi aliran masuk modal asing (inflow) masing-masing sebesar Rp 0,7 triliun pada (14/47/2020), Rp 0,2 triliun pada (15/4/2020), Rp 2 triliun (16/4/2020).
“Inflow sebagian besar ke SBN,” ujarnya.
Secara historis periode 2011-2019 di Indonesia, outflow relatif kecil dalam periode yang pendek, dan diikuti dengan inflow yang besar dalam peiode yang panjang.
Data menunjukkan rata-rata outflow SBN sebesar Rp 29,2 triliun dalam waktu 4 bulan dan diikuti inflow SBN sebesar Rp 229,1 triliun dalam waktu 21 bulan.
Hal tersebut mendasari keyakinan bahwa meskipun saat ini terjadi outflow, sebagai dampak dari COVID-19, Bank Indonesia meyakini pasca penyebaran COVID-19 akan terjadi inflow yang lebih besar dalam periode waktu yang lebih lama.
Inflasi Ramadhan dan Idul Fitri
Terkait inflasi, Trisno memaparkan bahwa Bank Indonesia memperkirakan inflasi pada periode April-Mei 2020 yang bertepatan dengan bulan Ramadhan dan Idul Fitri, akan lebih rendah dari pola historisnya.
Ada beberapa faktor yang mendasari hal tersebut. Antara lain permintaan konsumsi akan lebih rendah terkait berbagai Pembatasan Sosial Berskala Besar di berbagai daerah.
Hal itu mengurangi mobilitas sosial yang berdampak pada berkurangnya aktivitas fisik sehingga mengurangi pola konsumsi.
Kemudian, pemerintah juga akan memastikan pasokan barang kebutuhan pokok, termasuk melalui peran TPI/TPID.
Sejak merebaknya kasus covid-19, KPwBI Provinsi Bali telah melakukan High Level Meeting (HLM) TPID dengan Pemkot Denpasar dan Pemkab Badung untuk antisipasi dampak covid-19 terhadap inflasi.
Selain itu kondisi ekonomi secara keseluruhan menurun. Sehingga berdampak pada ekspektasi inflasi yang rendah. Nilai tukar stabil dengan harga komoditas rendah sehingga exchange rate pass through dan imported inflation rendah. (*)