Dirasa Tak Berkeadilan, Senator Gde Agung Usulkan Revisi UU No 33/2004

oleh
Anak Agung Gde Agung - foto: Koranjuri.com

KORANJURI.COM – Undang-Undang No 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, diminta untuk direvisi dengan memasukkan sektor pariwisata. Usulan itu disampaikan oleh Senator asal Bali Anak Agung Gde Agung.

Selama ini, ada ketidakadilan yang diberikan pemerintah pusat ke daerah terkait devisa. Bali menyumbang ratusan trilyun dari sektor pariwisata. Namun, UU No 33 Tahun 2004 hanya mengakomodir devisa berasal dari sumber daya alam mineral.

“Sejak UU itu diterapkan, kita di Bali merasa sangat dirugikan, terutama berkaitan tentang pembagian dana perimbangan,” kata Gde Agung, Jumat, 27 Desember 2019.

Padahal menurutnya, sumber daya ada 2 hal yakni, sumber data alam dan sumber daya tak benda yang mencakup pariwisata. Kontribusi dari sumber daya non mineral, menurut Gde Agung, juga menyumbang kontribusi besar kepada negara.

Usulan itu diajukan kepada Komite III DPD RI dan mendapat resspons positif. Menurut Gde Agung, di sejumlah wilayah Indonesia tidak semuanya memiliki sumber daya alam mineral. Banyak juga kabupaten/Kota maupun provinsi DI Indonesia yang mengandalkan PAD nya dari sektor pariwisata.

“Mereka mendukung revisi UU No 33 Tahun 2004 yang saya usulkan, langkah berikutnya akan ada Judicial Review,” jelas Gde Agung.

Namun sebelum benar-benar mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, terlebih dulu akan dilakukan kajian yang mendukung materi yang akan diajukan ke MK.

Menurut penglingsir Puri Agung Mengwi ini, ada 4 kajian yang saat ini tengah disiapkan yakni, kajian yuridis, kajian sosial, kajian, ekonomi dan kajian politis.

“Kita belum melangkah ke uji materi, agar tidak sia-sia, kita siapkan dulu kajian-kajian itu sebagai pendukung agar pariwisata diterima dan masuk dalam komponen dana perimbangan antara pusat dan daerah,” ujarnya demikian.

“Kita juga harus mengetahui besaran biaya untuk merawat pendukung pariwisata. Kalau di Bali ada tradisi dan budaya, itu semua butuh biaya, karena itu akan perlu ada kajian economic financial,” tambahnya. (Way)

KORANJURI.com di Google News