KORANJURI.COM – Tragedi Leuwigajah menjadi cikal bakal dibuatnya Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah. Kisah kelam tragedi itu dipicu dari ledakan yang terjadi di TPA Leuwigajah, Kota Cimahi, Jawa Barat, pada 2005 silam.
157 warga tewas akibat ledakan gas metan yang mengakibatkan gunungan sampah runtuh. Pemukiman terdekat dari TPA tertimbun longsoran sampah.
Kabid Pengelolaan Sampah, Limbah B3 dan PPKLH Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali I Made Dwi Arbani menjelaskan, isi dari UU tersebut adalah pengurangan dan penanganan.
“Tapi potret yang ada sekarang, volume sampah nambah terus sejalan dengan pembangunan,” kata Dwi Arbani saat jadi pembicara Diklat Jaringan Jurnalis Peduli Sampah (J2PS) di Klungkung, Sabtu, 29 Oktober 2022.
Dijelaskan lagi, persoalan sampah harus ditangani lebih serius terutama di TPA. Disebutkan, pembangunan TPA yang tidak sesuai, hanya memindahkan masalah sampah secara berjenjang mulai dari tingkat rumah tangga.
Banyak TPA yang dibangun secara open dumping atau menimbun secara terbuka. “Kondisi ini yang dulu pernah terjadi di TPA Leuwigajah. Faktanya apa, dimana-mana TPA masih sama,” ujarnya.
Dikatakan, pembuatan TPA idealnya harus dilakukan dengan metode landfill yakni, sistem pengelolaan sampah dengan cara memadatkan dan menimbunnya dengan tanah.
“Harusnya begitu, sampah dipadatkan kemudian ditimbun, begitu seterusnya. Jadi ada gas metan yang ditangkap,” kata Dwi.
Disebutkan lagi, metode landfill memiliki tingkat keamanan yang baik. Sebab, produksi gas metan akan berkurang banyak dibandingkan dengan metode open dumping.
“Gas yang tidak bisa ditangkap, akumulasi tinggi, kasusnya Leuwigajah,” ujar Dwi Arbani.
“Penanganan sampah tidak akan pernah selesai jika masih menggunakan pola yang sama. Bersih di rumah, bersih di lingkungan rumah tangga tapi masalah berpindah ke TPA,” tambahnya. (Way)
Baca Artikel Lain KORANJURI di GOOGLE NEWS