KORANJURI.COM – Food Agriculture Organization (FAO) mencatat hingga tahun 2050 penduduk dunia akan mencapai 9,7 milyar jiwa yang menuntut adanya kebercukupan pangan secara berkelanjutan.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, dalam keterangannya di Palu, Selasa (14/10) menyatakan, semua sektor berbasis pangan memiliki tantangan yang sama bagaimana menggenjot produktivitas pangan.
Menurutnya, perubahan iklim global saat ini telah berdampak cukup signifikan terutama terhadap penurunan produktivitas, dan ketersediaan sumberdaya air dan lahan. Kedua dampak inilah yang harus dicarikan solusinya secara efekif. Terlebih menurut Slamet, Indonesia berkomitmen untuk mewujudkan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) utamanya pada goal kedua yakni pengentasan kelaparan.
“Saya rasa momen Hari Pangan Sedunia kali ini memberikan pesan dan tanggung jawab besar khususnya pada sub-sektor akuakultur untuk mencari alternative solusi bagaimana mencukupi kebutuhan pangan berbasis ikan secara berkelanjutan,” jelas Slamet.
Data FAO sampai tahun 2021 diperkirakan, konsumsi ikan dunia perkapita mencapai 19,6 kg per tahun dan tahun 2030 diprediksi tingkat konsumsi ikan dunia perkapita sebesar 22,5 ton per tahun. Nilai ini diperkirakan memacu peningkatan produksi perikanan budidaya sebesar 172 juta ton. Disisi lain FAO juga mempediksi hingga tahun 2030, kontribusi akuakultur terhadap kebutuhan perikanan dunia diperkirakan akan mencapai 58%.
Pemerintah memproyeksikan tingkat konsumsi ikan Indonesia mencapai lebih dari 50 kg per kapita di tahun 2019. Untuk mencukupi kebutuhan tersebut dibutuhkan suplai setidaknya minimal sebanyak 14,6 juta ton ikan konsumsi per tahun. Slamet memprediksi, suplai tersebut nantinya akan banyak tergantung pada produk ikan hasil budidaya yakni paling tidak sekitar 60 persen dari total kebutuhan atau setidaknya sebanyak 8,76 juta ton pada tahun 2019.
“Kalau kita lihat data FAO dan prediksi peran akuakultur ke depan, maka sudah saatnya kita melakukan inovasi teknologi akuakultur berkelanjutan yang berbasis mitigasi perubahan iklim. Ini penting agar produktivitas tetap optimal,” jelas Slamet. (Bob/*)