KORANJURI.COM – Sebuah festival yang nantinya akan menjadi bagian di Desa Adat Kerobokan mulai digelar di Pantai Petitenget 13-16 September 2018. Petitenget Festival menjadi langkah awal terciptanya sebuah tradisi baru yang akan menjadi wahana kreatifitas warga. Event perdana itu bertema ‘Kerobokan Art and Spirit 2018’.
Bendesa Adat Desa Adat Kerobokan Anak Agung Putu Sutarja menjelaskan, pihaknya ingin membangun imej positif dari sebelumnya wilayah Kerobokan yang dikenal dengan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
Kerobokan merupakan sebuah desa adat yang menyimpan banyak potensi tradisi, budaya dan kesenian. Citra itu, menurut AA. Putu Sutarja, kembali digali oleh masyarakat dalam sebuah event budaya.
Pementasan Wayang Wong, menjadi salah satu potensi kesenian yang tertidur selama 85 tahun. Kali ini, menurut Sutarja, tradisi luhur itu kembali dipentaskan termasuk pementasan Tari Kecak.
“Gagasan itu muncul dari kami di Desa Adat Kerobokan. Kami mencoba secara swadaya untuk membuat event yang akhirnya terealisasi dengan nama Petitenget Festival. Langkah kami didukung oleh Pemkab Badung dengan support dana hibah sebesar Rp 2 miliar,” jelas Sutarja, Kamis, 14 September 2018.
Desa Adat Kerobokan yang memiliki garis pantai sepanjang 2,5 km menjadi aset berharga bagi warga.
Namun selama ini, seperti disebutkan oleh Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati atau Cok Ace, bentangan pantai sepanjang 2,5 km itu, cukup glamor mengeksplorasi kehidupan malam.
Dengan festival budaya yang kali pertama dilaksanakan di pantai Petitenget, Cok Ace memiliki keyakinan akan lahirnya budaya baru di kawasan yang padat dengan turis asing itu.
“Kita melihat sebelumnya tempat ini sarat dengan kehidupan malam, tapi sekarang dan kedepan, akan banyak budaya dan kesenian yang akan ditampilkan di Desa Adat Kerobokan,” kata Cok Ace membuka Petitenget Festival 2018, Kamis, 14 September 2018.
Petitenget punya cerita panjang yang kental dengan petuah-petuah luhur dari sosok Danghyang Nirartha yang juga dikenal dengan Pedanda Shakti Wawu Rauh atau Danghyang Dwijendra. Kala itu, Sang Maha Guru berada di sebuah pantai yang akhirnya bernama Petitenget.
Ia meninggalkan sebuah peti kepada Buto Ijo, dengan pesan agar si Buto Ijo menjaga peti itu sampai kapan pun. Peti yang ditinggalkan kemudian menjadi cikal bakal Pecanangan yang hingga kini masih bertahan di Bali sebagai sarana persembahan kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa. Dari peti itu akhirnya tersebutlah nama Petitenget yang berarti Peti Angker (Tenget).
Setelah meninggalkan Petitenget, Danghyang Nirartha akhirnya menjalani perjalanan Moksa di Pura Uluwatu.
Bendesa Adat Desa Adat Kerobokan Anak Agung Putu Sutarja mengatakan, Pantai Petitenget menjadi tempat untuk mengadakan upacara Melasti.
“Di tempat ini kami memohonkan Tirta Amerta agar bisa mensucikan wilayah desa adat masing-masing,” terang AA. Putu Sutarja.
Petitenget Festival 2018 secara resmi dibuka oleh Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati. Hadir dalam acara itu Bupati Kabupaten Badung I Nyoman Giriprasta, Ketua DPRD Kabupaten Badung I Putu Parwata bersama sejumlah perangkat daerah lainnya.
Seremonial pembukaan diawali dengan pemukulan lesung sebagai simbol Lingga dan Yoni yang akan melahirkan budaya baru di Desa Adat Kerobokan. (Way)